Parpol Islam dalam Pandangan Seorang Awam

sulaiman mosque

Indonesia, negeri dengan lebih dari tiga puluh propinsi dan dengan ribuan kota/kabupaten yang tersebar di berbagai pulau. Sementara itu, masing-masing wilayah tentu saja memiliki pemimpin kan? Maka dari itu, sebentar-sebentar pemilu, sebentar-sebentar pemilukada, sebentar-sebentar pemilihan. Di kawasan rumah saya di Bogor saat ini pun sudah dipasang beberapa poster liar yang berasal dari berbagai partai. Mungkin, mereka ingin mengambil hati rakyat kami duluan. berbagai partai tersebut tentu saja berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Contohnya nasionalis, sekuler, atau mungkin religius. Dan salah satu jenis partai yang saat ini saya amati adalah partai yang mengatasnamakan Islam dan dakwah sebagai asas pergerakkannya, dengan kata lain partai religius yang berlandaskan Islam.

Sebutlah partai X, menjadikan dakwah dan Islam sebagai alat mereka untuk mencapai kekuasaan. Berbagai dalil mereka pakai untuk menyokong partai mereka. Yang saya heran, apakah dakwah itu untuk mencapai kekuasaan?

Saya bukan ustad, apalagi ulama. Saya belum bisa mengeluarkan dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah yang sedemikian rupa. Namun, saya sebagai orang awam hanya mempertanyakan hal ini memakai pengetahuan saya yang minim ini. maka dari itu saya tumpahkan pemikiran saya pada tulisan yang acak-acakan ini.

Dakwah Untuk Alat Mencapai Kekuasaan

Dibandingkan dengan buku fiqh, di rumah saya banyakan buku sejarah. Makanya, mending liat sejarah aja. Hehehe…

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lahir di Makkah. Terlahir dari keluarga paling mulia dari suku paling mulia. Namun, kekuasaan justru bukan berada di tangannya. Kekuasaan Makkah dipegang oleh paman-pamannya yang berasal dari suku Quraisy, suku paling utama di Arab sana. Karena memang, kepengurusan ibadah haji sejak zaman dahulu telah dipegang oleh mereka.

Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diangkat menjadi nabi, beliau berdakwah terlebih dahulu kepada keluarga dengan sahabat terdekatnya. Baru kemudian dakwah akhirnya dilancarkan ke seluruh penjuru Makkah. Tidak hanya Makkah, daerah lain pun didakwahi dengan cara mengirim duta dari Makkah menuju daerah tujuan. Ada yang dikirim ke Heraklius Kaisar Romawi, ada yang ke Kisra Persia, ada yang ke Muqauqis penguasa Afrika, ada yang ke Najasyi penguasa Habasyah, dan masih banyak lagi.

Oke, dari uraian di atas kita tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimrisalahnya kepada para penguasa. Salah satu tujuannya adalah jika penguasa tsb masuk Islam, maka rakyatnya pun akan ikut memeluk Islam.

Dapat satu poin…

Tapi kita lihat di Makkah sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah selama 13 tahun. Ya, 13 tahun di Makkah. Apa yang beliau dakwahkan? Tauhid! 13 tahun? Iya, 13 tahun ‘hanya’ untuk tauhid saja.

Selama 13 tahun itu, pernahkan Nabi memerintahkan untuk meraih kekuasaan lewat jalan tertentu? Tidak. Pernahkah Nabi memerintahkan untuk membentuk suatu koalisi politik selama 13 tahun tersebut? Tidak. Pernahkah Nabi menyuruh ummatnya di Makkah untuk mengkampanyekan Islam sebagai suatu bentuk daulah (kekuasaan)? Tidak.

Selama 13 tahun, ‘hanya’ Tauhid yang beliau ajarkan. Adapun gerakan yang mungkin saat ini kita sebut sebagai gerakan politik baru terbentuk di tanah Madinah, setelah 13 tahun menyempurnakan tauhid. Di tanah Madinahlah Islam sebagai suatu kekuatan itu terbentuk.

Jadi, apa poin kedua yang bisa kita dapatkan?

Gerakan Islam sebagai gerakan politik baru bisa terjadi jika tauhid telah menjadi pondasi gerakan tersebut.

Ada satu kisah menarik yang disampaikan ustad Arman Amri hafizhahullah ketika beliau menyampaikan kajian di Masjid Ar Rayyaan, Taman Cimanggu, Bogor. Dulu, ketika ada beberapa orang yang ingin mendirikan partai Islam menghadap Syaikh Al Albani untuk bertanya bagaimana pendapatnya. Lalu Syaikh menyampaikan satu pertanyaan yang sama sekali tidak bisa dijawab oleh mereka: “Apakah kalian semua bersepakat bahwa Allah ada di atas langit?” pertanyaan yang kesannya ringan, namun itulah hakikat persatuan dalam Islam: Ikatan dalam ketauhidan.

Jika kader partainya saja tidak bersepakat mengenai hal tersebut, maka bagaimana pula persatuan akan didapat? Karena itu menunjukkan bahwa partai ‘Islam’ tersebut berisi dari ‘Islam’ heterogen. Entah itu Islam abangan, Islam Kejawen, atau Islam Islaman.

Nah, kembali lagi ke Indonesia. Ada beberapa partai Islam yang rupanya ingin mewujudkan impian ideal mereka, “Negeri Aman, Tenteram, dengan Islam”. Tapi sayang, mereka melupakan bagaimana persatuan itu akan terwujud. Kini kita lihat bagaimana manuver parpol Islam yang sudah mulai membuka diri atau malah mengubah image agar dapat memperbanyak kursi yang mereka dapat di perwakilan rakyat. Ada yang rapat di hotel termewah, ada yang mulai memasukkan anggota non-Islam sebagai kadernya, ada yang melonggarkan anggotanya dari syariat Islam itu sendiri. Hal itu dilakukan untuk memperbanyak suara dalam pemilihan. Dan ketika suara dalam pemilihan itu sudah di tangan, maka diklaim sebagai hasil pembentukan dakwah? Lucunya….

Sayang, mereka tidak sabar bagaimana membentuk sebuah generasi. Mereka memiliki metode yang beragam lagi menarik sebagai manuver mendapat kekuasaan, tapi sayang mereka tidak memiliki pondasi yang kuat dalam gerakannya.

Kini kita berandai-andai. Bila seandainya partai itu sudah mencapai tujuannya untuk menggapai kekuasaan. Apakah mereka berarti telah berhasil dakwahnya? Tidak! Yang ada mereka telah berhasil menarik pemilih. Dan bagaimana mereka bisa mewujudkan Negara berasas Islam bila ditopang dengan pondasi rapuh. Bayangkan, bila partai X yang dengan bangganya dengan sistem tarbiyah mereka berhasil menghimpun orang NU, Muhammadiyah, Persis, Wahdah Islamiyah, HTI, Kejawen, sampai Non-Islam ke dalam partai mereka. Mereka telah duduk di kursi kekuasaan sesuai dambaan mereka, mereka telah berhasil mewujudkan kekuasaan instan mereka dengan membuka diri dan akhirnya semua yang ngaku Islam masuk. Lalu ketika si penguasa ingin menerapkan kebijakan. Bayangkan bagaimana ricuhnya mereka karena masing-masing kelompok dalam partai mereka akan ribut dan mengaku sebagai Islam sejati.

Memang, tugas sebuah partai ‘Islam’ adalah mengakomodir perbedaan-perbedaan tersebut sebagai satu jama’ah (jika bisa dibilang demikian). Iya, kalau berbeda jika hanya di masalah fiqh seperti halnya fiqh 4 madzhab. Tetapi yang fatal adalah apabila perbedaan tersebut terjadi dalam hal aqidah sebagai pijakan utama ummat ini dan inti dari dakwah seluruh nabi dan rasul.

Seperti halnya misal ada kader partai X yang berpandangan bahwa melafalkan niat adalah boleh dalam shalat, ada juga yang berpandangan bahwa hal tersebut tidak ada contohnya. Dalam kasus ini partai X sebagai partai Islam dan wadah bagi ummat akhirnya mengakomodir perbedaan ini dengan mendudukkan masalahnya.

Ooh ternyata melafalkan niat tidak ada dalam shalat, karena tidak ditemukan dalil yang shahih mengenai hal itu. Ada pun melafalkan niat di sebagian kaum muslimin ketika shalat adalah salah satu bentuk kekeliruan ijtihad seorang ulama bermadzhab Syafi’i bernama Abdullah Az Zubairi, dan pendapat ini bukanlah pendapat jumhur atau bahkan ijma’ dari ulama. Ini adalah salah satu kegelinciran ulama kita dalam memahami niat shalat yang beliau samakan dengan niat haji. Padahal, dalam fiqh tidak boleh disamakan antara shalat dengan haji karena shalat perintahnya turun terlebih dahulu dibanding perintah berhaji, karena itu menyamakan niat shalat dengan niat haji tidaklah benar

-Pemimpin Partai X-

Nah, itu baru namanya menyelesaikan perbedaan sebagai tugas parpol Islam! Bandingkan dengan kasus ini:

Ada kader partai X yang mengatakan Allah ada di langit, ada juga yang bilang Allah ada di mana-mana, ada yang bilang Allah di urat leher, dll. Nah, kalau memang BENAR-BENAR partai Islam maka sudah seharusnya meluruskan pemahaman ini. tapi jika partai Islam ini hanya menjadikan Islam sebagai label tapi tidak sebagai asas, melainkan hanya sebagai alat politik menuju kekuasaan, maka apa yang dilakukan? Mungkin sebagian dari mereka akan memakai kaidah: Bahu membahu dalam hal yang disepakati, berlapang dada dalam hal perbedaan.

Aduh, kalau begitu namanya bukan mengakomodir perbedaan, tapi membiarkan perpecahan. Iya kalau perbedaannya bisa ditolerir. kalau tidak? Yang benar saja, yang Haq ditutupi dan yang bathil dibiarkan demi satu kesatuan politik. Yakin jika jalan politik Islam seperti itu akan diberkahi?

Oke, sebenernya yang saya ingin sampaikan dalam tulisan kali ini: dakwah bukan untuk mencapai kekuasaan, karena seandainya dakwah itu untuk kekuasaan, maka sudah seharusnya Nabi menyeru ummatnya terlebih dahulu untuk menempuh jalur politik di Makkah. Tapi apa yang beliau dahulukan selama 13 tahun? Tauhid. Mengapa? Karena tauhid inilah pemersatu ummat Islam. Dan untuk membentuk sebuah persatuan Islam yang bersifat global tentunya tidaklah singkat. Nabi saja 13 tahun berdakwah untuk menyatukan sebuah generasi, apalagi manusia? Sementara itu, parpol Islam yang tampaknya sudah tak sabar ingin memegang kekuasaan hingga akhirnya mulai melunturkan nilai-nilai keIslaman yang sesungguhnya, maka yang bisa kami sampaikan adalah bersabarlah. Jalan perubahan itu tidaklah mudah, butuh kesabaran di dalamnya, dan butuh keistiqamahan dalam prosesnya.

Hmm, demikian pemikiran saya mengenai politik parpol Islam yang ada di negeri ini. silakan kalau ada yang berniat ingin menambahkan atau memberi kritik dan saran. Silakan sampaikan dengan baik-baik.

Terakhir, opini yang bisa sampaikan: Salah satu alasan saya kurang menyukai adanya sebagian (atau mungkin seluruhnya ya?) parpol yang mengatasnamakan dakwah: “dakwah dikuantifikasi menjadi perolehan angka-angka kursi”.

“Tegakkanlah daulah Islam di hati-hati kalian, niscaya akan tegaklah Islam di negeri-negeri kalian”[1]

Wallahu a’lam.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa’ala alihi wa shahbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Selesai ditulis di Bogor, 24 Juni 2012. Ba’da isya.

RIM.

Daftar Bacaan:

Buku Sejarah Agama Islam: entah di buku pelajaran agama di sekolah-sekolah umum atau buku-buku sejarah spesifik yang ditulis oleh para ulama seperti Ar Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, Mukhtashar Siratir Rasul karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi.

Majalah Al Furqon Edisi 8 tahun ke-9 dan edisi 4 tahun ke-10

Pkswatch.blogspot.com saya tidak tahu bagaimana isi blog ini karena memang sudah tutup. Saya hanya setuju dengan halaman depan blog ini saja yang memuat tulisan akhir dari admin. Di sini saya tidak hanya menyoroti satu partai, tapi juga partai lain. Mengenai isi blog yang mungkin bagi sebagian orang adalah fitnah, wallahu musta’an.

(mohon teman-teman dan saudaraku sekalian bisa meluangkan waktu untuk sekedar berbagi informasi setelah membaca note ini. entah itu informasi untuk memperkaya ilmu kita atau menyampaikan kritik dan saran yang membangun. Agar tidak bertambah kejahilan saya tetapi bertambah ilmunya)

__________________

[1] kalimat ini sering dipuji oleh Syaikh Al Albani rahimahullah, karena memang makna dari kalimat ini adalah hendaknya daulah Islam itu tegak pada diri setiap kaum muslimin dengan menjalankan syariat-syariat Islam secara menyeluruh pada setiap individu. bila individu-individu muslim memiliki komitmen dengan syariat Islam secara menyeluruh, niscaya daulah Islam akan terwujud karena berarti orang yang-orang yang telah menjadi subjek sekaligus objek syariat Islam tersebut telah siap (untuk menerima daulah Islam yang didambakan tersebut-pen). jadi caranya bukan dengan menempuh metode (atau jalan instan yang lain-pen). Lihat Majalah Al Furqon edisi 4 tahun ke-10

image source: national geographic

Published by

Regin Iqbal

penuntut ilmu | pengagum sejarah | penggemar detective conan

One thought on “Parpol Islam dalam Pandangan Seorang Awam”

Leave a comment